BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Dahuri (2002), meyatakan bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.
Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktifitas manusia di wilayah pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar (Allard and Moreau, 1987); APHA, (1992).
Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Dahuri (2002), meyatakan bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.
Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktifitas manusia di wilayah pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar (Allard and Moreau, 1987); APHA, (1992).
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.
Bagaimana karakteristik makrozoobentos ?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
keberadaan makrozoobentos?
3.
Bagaimana pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator
kualitas perairan pesisisir ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk mengetahui karakteristik makrozoobentos
2.
Untuk mmengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan
makrozoobentos
3.
Untuk mengetahui pemanfaatan makrozoobentos sebagai
spesies indikator kualitas perairan pesisir
D. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu:
1.
Sebagai bahan referensi
2.
Memberi informasi bagi mahasiswa tentang penggunaan makrozoobentos
sebagai salah satu spesies indikator kualitas air
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makrozoobentos
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder") (Pennak, 1978; Tudorancea, Green dan Hubner, 1978).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder") (Pennak, 1978; Tudorancea, Green dan Hubner, 1978).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
B.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Keberadaaan Makrozoobentos Di Perairan Pesisir
Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979).
Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979).
A. Parameter Fisik
1. Penetrasi Cahaya
Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal.
Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal.
2. Suhu
air
Suhu merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu
akan mempercepat perkembang biakan organisme perairan.
Klein (1972) dalam Yusuf (1994), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.
Klein (1972) dalam Yusuf (1994), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.
3. Tipe Substrat
Tipe
substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping
itu juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997)
dan Barnes and Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari
bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu.
Pada
daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, subtrat
cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk
atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah
pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang
curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu.
Substrat
lumpur, merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan
wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat
berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir
dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar
terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka.
Pantai
berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak
makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun, berlimpahnya partikel
organik yang halus yang mengendap di dataran lumpur juga mempunyai kemampuan
untuk menyumbat permukaan alat pernafasan.
Bentos
yang dominan hidup di daerah substrat berlumpur tergolong dalam “suspended
feeder”. Diantara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalva,
Crustaceae, Echinodermata dan Bakteri. Disamping itu juga ditemukan gastropoda
dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos.
Adapun
substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan
makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri
dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang
dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi
organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel
(POM).
Pantai
berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme,
karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat.
Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah
organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam
pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1 mm) yang hidup di
antara butiran pasir dalam ruang interaksi.
Ditinjau
dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan
adalah kelompok suspended feeder dan karnivor. Organisme yang dominan adalah polychaeta, bivalva dan crustacea.
Daerah
pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat
makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan
maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks
dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan
oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang
bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya.
Ditinjau
dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan
termasuk kelompok herbivora, scavenger, suspended feeder dan predator.
Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti gastropoda,
crustacea, bivalva dan echinodermata.
4.
Kedalaman
Kedalaman
air mempengaruhi kelimpahan dan distribusi zoobentos. Dasar perairan yang
kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh makrozoobentos yang berbeda pula,
sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman. Pada perairan yang lebih dalam
makrozoobentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar.
Karena itu makrozoobentos yang hidup di perairan yang dalam ini tidak banyak. Berdasarkan
kedalaman laut Wright (1984), mengelompokkan keberadaan hewan bentos dibagi
atas tiga zone yaitu (1) zona intertidal (intertidal zone), (2) zona paparan
benua (continental shelf) dan (3) zona laut dalam (deep sea).
5.
Kecepatan Arus
Arus
merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan
dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan gelombang (Nontji, 2002).
Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasar perairan dangkal, dimana terdapat arus yang
tinggi, hewan yang mampu hidup adalah organisme periphitik atau benthos.
Pergerakan
air yang ditimbulkan oleh gelombang dan arus juga memiliki pengaruh yang penting terhadap
benthos; mempengaruhi lingkungan sekitar seperti ukuran sedimen, kekeruhan dan
banyaknya fraksi debu juga stress fisik yang dialami organisme-organisme dasar. Pada
daerah sangat tertutup dimana kecepatan arusnya sangat lemah, yaitu kurang dari 10
cm/dtk, organisme benthos dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas tanpa
terganggu sedangkan pada perairan terbuka dengan kecepatan arus sedang yaitu 10-100
cm/dtk menguntungkan bagi organisme dasar karena terjadi pembaruan antara
bahan organik dan anorganik dan tidak terjadi akumulasi (Wood, 1987).
B.
Parameter Kimia
1.
DO (Dissolved
Oksigen)
Oksigen
terlarut sangat penting bagi pernafasan zoobentos dan organisme-organisme
akuatik lainnya (Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu,
pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan
oksigen tinggi.
Tiap-tiap
spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap
konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran
toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai
kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja.
Berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO), Lee et
al. (1978) mengelompokkan kualitas perairan atas empat yaitu; tidak tercemar
(> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 – 6,5 mg/l), tercemar sedang (2,0 – 4,4
mg/l) dan tercemar berat (< 2,0 mg/l).
2. BOD ( Biochemichal Oxygen Demand
)
BOD (Biochemichal Oxgen Demand)
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikro organisme aerobi dalam proses
penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 200 C. Untuk
menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara
sempurna, mikro organisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat
bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran,
sementara dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa pengukuran 5 hari
jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka
pengukuran yang umum dilakukan adalah setelah 5 hari (BOD5),
(Barus, 2004).
Menurut Brower, et al.,
(1990) , nilai konsentrasi BOD menunjukkan kualitas suatu perairan, perairan
tergolong baik jika konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5
mg/l O2 maka
perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi O2 berkisar
antara 10 mg/l – 20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh
materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih besar
dari 100 mg/l.
3. COD (Chemical Oxygen Demand)
COD (Chemical Oxygen Demand)
adalah kebutuhan oksigen untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Dengan
mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang
mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak bisa diuraikan
secara biologis (Barus, 2004).
4. pH
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung, pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme.
Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun ikut menentukan (Welch, 1952; Santos dan Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990; Lowe and Thompson, 1997).
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung, pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme.
Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun ikut menentukan (Welch, 1952; Santos dan Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990; Lowe and Thompson, 1997).
5. Salinitas
Salinitas dan keterbukaan wilayah
pesisir selama pasang surut serta buangan limbah, baik yang mengandung
senyawa-senyawa beracun (toksin) maupun logam berat.
Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu.
Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu.
Pada
saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi
habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang
mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai
batas letal organisme.
Disamping
itu, bentos juga dapat mati disebabkan oleh kehabisan air. Disisi lain, adanya
genangan pasang-surut, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk
ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak.
Buangan
limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksit) maupun logam
berat, merupakan faktor lain yang juga mempengaruhi keberadaan makrozoobentos
di perairan pesisir. Bahan-bahan ini berasal dari daerah aliran sungai maupun
areal pemukiman kota dipinggiran pantai serta kawasan atau industri yang
membuang limbah ke laut.
Eisherth
(1990) mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah
pesisir, yaitu : (1) pencemaran limbah industri (industrial pollution) seperti
industri pulp, kertas, pengolahan makanan dan industri farmasi-kimia, (2)
pencemaran sampah/limbah domestik (sewage pollution) yang umumnya mengandung
bahan organik, (3) pencemaran karena sedimentasi (sedimentation pollution)
akibat adanya erosi di daerah hulu sungai, dan (4) pencemaran oleh aktifitas
pertanian (agriculture pollution) yakni dengan adanya penggunaan pestisida.
C. Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik.
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik.
Metode
ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai
akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena
berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui
indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran,
1988).
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.
Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan
masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya
ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.
Indeks keragaman jenis (H') menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas.
Indeks keragaman jenis (H') menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas.
Diantara
Indeks keragaman jenis ini adalah Indeks keragaman Shannon - Wiener. Perbandingan antara keragaman dan keragaman
maksimum dinyatakan sebagai keseragaman populasi, yang disimbolkan dengan huruf E. Nilai E ini
berkisar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman
populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada
kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar
nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu
spesies digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat H’>1, tercemar sedang: 1<H’<3, air bersih: H’>3.
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat H’>1, tercemar sedang: 1<H’<3, air bersih: H’>3.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zoobentos
merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar
perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum
1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting
dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material
organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan
(Odum, 1993).
Struktur
komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik.
Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos
adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya
yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia
seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien.
Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus
hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979).
Berdasarkan
nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi
Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan
bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari
satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar.
Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam
Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas
air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat H’>1, tercemar sedang: 1<H’<3, air bersih:
H’>3.
B.
Saran
Diharapkan kepada masyarakat, khususnya masyarakat
yang menghuni pemukiman disekitar pesisir pantai dan aliran sungai agar tidak
membuang sampah ke badan sungai maupun di pesisir pantai karena dapat mencemari
air sungai dan laut sehingga mengganggu pertumbuhan biota air seperti makrozoobentos.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggoro, Sutrisno. 1984. Distribusi dan
Kelimpahan. Fakultas Peternakan
Universitas
Diponegoro. Semarang
Connel DW, and Miller GJ. 1995. Kimia
dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Koestoer
Y, Sehati. Penerjemah. Jakarta . UI Press
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang
Indonesia ( Indonesian Shells ). Jakarta: PT. Sarana Graha.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas air. Managemen
Sumberdaya Perairan.
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
259
hal.
Junardi.
2001. Keanekaragaman, Pola Penyebaran dan Ciri- ciri Substrat
Polychaeta (Phyllum : Annelida) di Perairan
Pantai Timur Lampung
Selatan.
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
LIPI, 1997. Analisis air laut, sediment dan biota
(buku 2). Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Oceanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Nontji,
A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Nybakken
JW. 1988. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis. Penerjemah M
Eidman
et.al . Terjemahan dari Marine biology an ecologycal approach.
PTGramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E.P.
1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan
Tjahjono Samingan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar